Sunday, June 7, 2009

begitukah etikanya

suatu kali, saya dipanggil oleh bos nomor satu di kantor saya. waktu itu mukanya menahan marah dan panik. di tangannya saya lihat dia memegang sebuah aplop coklat seukuran kertas polio.

belum lagi saya masuk ke ruangannya, dia sudah memberondong saya dengan sejumlah pertanyaan. bagaimana ini? kok bisa begini? beritanya seperti apa sih?

saya agak bingung juga, maksudnya apa. wong ujuk-ujuk langsung begitu. ada apa sih mas? terus dia bilang, kita disomasi. hohoho jadi itu toh.

pas saya baca surat somasi itu, saya bilang, dua hari lalu, dua teman sudah ketemu pihak yang bersangkutan (si a) dan nggak ada masalah. dilihat dari tanggal suratnya pun, 27 Mei, sama persis dengan hari bertemunya sejumlah media dengan si a. dari hasil pertemuan, semua klir. si a nggak minta dibuat berita baru untuk membantah berita sebelumnya yang sudah naik di media saya.

tapi si bos keukeuh minta berita itu direvisi. oke. saya bilang, tunggu temen yang lagi salat jumat dulu soalnya saya nggak ikut pertemuan dan tak tahu apa yang diomongin si a dengan sejumlah media itu. tapi si bos bilang nggak usah nunggu, langsung aja revisi. berdasarkan pengalaman saya yang sudah hampir 10 tahun jadi wartawan dotcom alias online, bantahan atau revisi berita biasanya dilakukan dengan membuat berita baru. tak peduli berita pertama sudah dimuat satu hari atau satu minggu sebelumnya.

tapi bos saya punya pandangan berbeda dengan saya. saya diminta membuat revisi dengan mengubah berita pertama yang sudah naik. what? saya bilang kita bikin aja berita lain yang sifatnya bantahan.

saya nggak tahu, saya yang nggak ikut perkembangan zaman, atau karena bos saya yang merasa hebat ini karena pernah malang melintang di media paling top di negeri ini, dia merasa lebih tahu aturan dotcom, tetap minta revisi dilakukan di berita lama.

dia bilang, itulah kelebihan media online. bisa melakukan revisi di berita yang sudah naik. bagi saya, kalau revisi terkait salah nulis huruf atau nama okelah. tapi kalau substansi berita. apa sebaiknya nggak dibikin berita baru.

pertama, berita bantahan itu jelas lebih update dari berita sebelumnya. sehingga memungkinkan viewers atau pihak yang dirugikan langsung bisa melihat berita tersebut. kedua, toh meski beritanya lama tapi karena ada kata kunci, otomatis akan menjadi link berita sebelumnya. pembaca yang baru buka berita bantahan akan melihat juga link berita itu. ketiga, ini yang terpenting dari semuanya, masalah KREDIBILITAS. bagi saya sekali nyemplung ke media online jangan coba-coba melakukan manipulasi data, sekali itu dilakukan orang tak akan memandang media kita lagi. orang selamanya tidak percaya. bagi saya itu namanya CURANG.

makanya begitu harus membuat revisi di berita itu, berulang kali saya tanyakan, seperti apa maunya. si bos minta beritanya diubah. wah, saya nggak bisa seperti itu. okelah meski dengan perasaan kesal dan campur aduk, karena si bos yang hebat ini nggak bisa dibantah, saya buka juga article berita itu di halaman administrator.

tapi saya terus terang nggak tau harus diapain ini berita. saya kemudian tanya sama teman yang juga lama di media online, seperti saya dia juga mengusulkan berita baru dalam bentuk bantahan. akhirnya, saya telp teman yang ikut pertemuan dengan si a dan tanya isi pertemuannya. setelah itu saya tetap bingung. akhirnya si teman ini inisiatif kontak si a, dan si a bilang abaikan saja surat itu. saya kabari si bos, dia agak tenang. tapi dia tetap minta beritanya direvisi.

huh, nggak ngerti saya jalan pikirannya. saya akhirnya sama sekali nggak utak-utik berita yang sudah naik meski dia minta dirombak total. saya hanya tambahin dua alenia dengan sub judul klarifikasi dan update di atas judul, itu pun dengan amat sangat terpaksa. saya bilang saya harus nambahin kata update, supaya orang tahu ada perubahan dalam berita itu. tapi saya tidak bersedia mengutak-utik tulisan sebelumnya kecuali nambahin dua alenia dengan sub judul klarifikasi.

bos lain akhirnya setuju meski si bos besar ini tetap minta isi berita benar-benar di revisi. saya tetap tidak mau, kenapa pula saya yang harus merevisi? kenapa dia nggak mau sabar nunggu teman yang sedang salat jumat.

ternyata ini bukan kejadian pertama, sebelumnya teman lain juga diminta seperti itu, dan dia keukeuh tak mau merevisi alias mengubah berita sebelumnya. bos saya ini kayaknya sudah kebablasan dengan mainan barunya.